A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Demokrasi adalah bentuk atau
mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan
rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah
negara tersebut. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam
bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini
disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Salah satu pilar demokrasi
adalah prinsip trias politicayang membagi ketiga kekuasaan politik negara
(eksekutif, legislatif dan yudikatif ) untuk diwujudkan dalam tiga jenis
lembaga negara yang saling lepas dan berada dalam peringkat yg sejajar
satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini
diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling
mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Indonesia merupakan salah satu
negara yang menerapkan sistem politik demokrasi. Demokrasi yang diterapkan di
Indonesia mempunyai slogan yaitu dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Salah satu sarana dari sistem politik demokrasi di Indonesia yaitu Pemilihan
Umum(Pemilu). Pemilihan umum merupakan wujud dari kebebasan berpendapat dan
kebebasan berserikat. Pemilihan umum di Indonesia menganut asas “Luber” yang
merupakan singkatan dari “Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia”. Asal “Luber”
sudah ada sejak zaman orde baru. Kemudian di era reformasi berkembang pula asas
“Jurdil” yang merupakan singkatan dari “Jujur dan Adil.
Di Indonesia, pemilihan umum
(pemilu) adalah proses pemilihan orang(-orang) untuk mengisi jabatan-jabatan
politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai
dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala
kepala desa.Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses
mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini
kata ‘pemilihan’ lebih sering digunakan.
Pemilu merupakan salah satu
usaha untuk memengaruhi rakyat secara persuasif (tidak memaksa) dengan
melakukan kegiatan retorika, public relations, komunikasi massa, lobby dan
lain-lain kegiatan. Meskipun agitasi dan propaganda di Negara
demokrasi sangat dikecam, namun dalam kampanye pemilihan umum, teknik agitasi
dan teknik propaganda banyak juga dipakai oleh para kandidat atau politikus
selalu komunikator politik. Hal inilah yang membuat penulis ingin mengetahui
bagaimana jalannya demokrasi dalam pemilu di Indonesia.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Dari latar belakang di atas maka permasalahan yang akan
dibahas dalam makalah ini ialah:
1.
Bagaimana
proses berjalannya demokrasi dalam pemilu?
2.
Bagaimana
pengawasan berjalannya demokrasi dalam pemilu?
PEMBAHASAN
1. Proses berjalannya demokrasi dalam pemilu di Indonesia.
Perubahan politik besar yang terjadi pada tahun 1998 yang ditandai
oleh lengsernya Presiden Soeharto mempunyai implikasi yang luas, salah satu
diantaranya adalah kembalinya demokrasi dalam kehidupan politik nasional.
Pemilu yang betul-betul LUBER berlangsung pada tahun 1999
dan diikuti oleh 48 parpol. Demokratisasi ini membawa konsekuensi pola relasi
antara Presiden dan DPR mengalami perubahan cukup mendasar. Jika pada masa lalu
DPR hanya menjadi tukang stempel, masa kini mereka bertindak mengawasi presiden.
Disini dicoba dilansir suatu model atau format politik yang tidak lagi executive
heavy (atau bahkan dominan ) seperti pada masa Orde Baru, tetapi juga tidak
terlalu legislative heavy seperti pada masa orde lama atau masa
Demokrasi Parlementer yang sudah menjadi stigma negatif.[1]
Jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998 yang kemudian
digantikan oleh Wakilnya BJ Habiebie memulai babak baru dalam proses
demokratisasi di Indonesia. Tidak adanya legitimasi dari para anggota
legislatif produk pemilu 1997 pada mas Orde Baru mengakibatkan banyaknya
tuntutan untuk segera melaksanakan pemilu pada saat itu.
BJ Habiebie sebagai pengganti Soeharto secara konstitusional
kemudian memiliki tugas utama yakni menyelenggarakan pemilu. langkah awal
Habiebie pada saat itu adalah membentuk Tim Tujuh yang bertugas untuk
mempersiapkan pemilu secara segera. Selain itu juga, Golkar yang merupakan
produk kekuasaan Orde Baru kemudian memepersiapkan diri menjadi partai politik
baru, serta perpecahan PPP menjadi banyak partai pada saat itu merupakan
langkah awal dari proses demokratisasi di Indonesia.
Selama pemerintahan Orde Baru bangsa Indonesia telah
menjalakan Pemilihan Umum, diawali dari tahun 1966 hingga tahun 1997 telah
diadakan 6 (enam) kali pemilihan umum secara berkala, yakni berturut-turut dari
tahun 1971, tahun 1977, tahun 1982, tahun 1987, tahun 1992 dan tahun 1997,
begitu pula pada era reformasi telah diselenggarakan pemilihan umum yang
diikuti oleh multipartai tanggal 7 Juni 1999 dan pemilu berikutnya pada tanggal
5 April 2004. Terkait dengan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun
1999 rakyat hanya memilih mereka di lembaga parlemen, setelah itu barulah
anggota MPR yang memilih Presiden dan Wakil Presiden. Bergulirnya gerakan
reformasi telah melahirkan beberapa perubahan, termasuk dalam soal
penyelenggara pemilu tahun 1999. Sistem multi partai pemilu 1999 ternyata
benar-benar membuktikan bahwa rakyat Indonesia sebelumnya terbelenggu aspirasi
politiknya, karena dalam perjalanannya partai politik yang sudah ada tidak sesuai
dengan aspirasi masyarakat, partai-partai yang sudah ada hanya mempertahankan status
quo saja.
Munculnya banyak partai politik dengan segmen dan ideologi
yang beragam membuktikan bahwa rakyat Indonesia sebenarnya tidak buta politik
meskipun sistem pemilunya masih proporsional tanpa menyertakan nama calegnya
dalam kartu suara, tetapi pemilu pada masa reformasi menjadi ajang kompetisi
yang cukup sehat bagi para kontestan pemilu. Dari segi kelembagaan pelaksanaan
pemilu 1999 mengawali sebuah pemilu yang mendekati demokratis, dengan adanya
Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang di dalamnya mempresentasikan golongan
pemerintahan dan partai politik. Selain itu, terdapat juga lembaga pengawas
pemilu dan lembaga pemantau pemilu non partisan yang bertujuan untuk mengawasi
pelaksanaan pemilu.
Dari pelaksanaan pemilu tahun 1999 ini dapat dikatakan
merupakan langkah awal meunuju proses demokratisasi di Indonesia, karena
mengingat sebelumnya yakni pada masa orde baru partai politik yang menjadi
kontestan pemilu hanya 3 partai saja, akan tetapi pada tahun 1999 begitu banyak
partai politik yang ikut serta. System pemilu dan pelembagaan pemilu juga
berlangsung transparan dan dapat mencerminkan langkah awal menuju Negara yang
demokratis. Satu hal juga bahwa dalam pemilu 1999 terdapat lembaga pengawasan
pemilu yang walaupun dengan kekurangannya, hal ini merupakan cerminan dari
keinginan masyarakat akan terwujudnya pemilu yang jujur, adil, akuntabel serta
memunculkan pemimpin sesaui dengan harapan masyarakat.
Pemilu selanjutnya dilaksanakan adalah pada tahun 2004.
Pemilu tahun 2004 ini mempunyai makna yang sangat strategis bagi masa depan
bangsa Indonesia karena merupakan momentum ujian bagi kelanjutan agenda
reformasi dan demokratisasi. Apabila pemilu sistem multipartai pada 1999
menandai berlangsungnya transisi demokrasi, maka pemilu tahun 2004 diharapkan
menjadi momentum pulihnya kedaulatan rakyat, tegaknya pemerintahan yang bersih
serta bebas korupsi, dan berakhirnya krisis bersegi-banyak yang dialami bangsa
Indonesia.
Berbeda dengan pemilu pada tahun 1999, pemilu pada tahun
2004 dari segi kelembagaan pemilu ada perubahan, komposisi Komisi Pemilihan
Umum tidak lagi seperti pemilu 1999. Komisi Pemilihan Umum berdasarkan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2003 tidak lagi menyertakan wakil-wakil dari partai politik
dan pemerintah. Selain itu, Komisi Pemilihan Umum memiliki kewenangan yang
sangat besar baik kewenangan menyiapkan dan melaksanakan pemilu dari segi
prosedur juga harus menyediakan logistik pemilu, kewenangan yang besar itu
sebenarnya dalam praktiknya dapat berakibat pada terganggunya kinerja Komisi
Pemilihan Umum, selain juga tugas menyiapkan daftar pemilih yang tidak di
dapatkan dari Departemen Dalam Negeri. Sistem kepartaian pada pemilu tahun 2004
memang menawarkan banyak pilihan pada rakyat dan rakyat cukup kritis dalam
menjatuhkan pilihannya, meskipun pemilu tahun 2004 diwarnai oleh berbagai
kerumitan, tetapi secara umum sistem pemilu tahun 2004 lebih baik dibandingkan
pemilu sebelumnya. Pemilih dapat menentukan sendiri pilihannya baik pilihan partainya
maupun pilihan wakil-wakilnya, sistem pemilihan dengan memilih partai, calon
legislatif, calon Presiden dan Wakil Presidennya dapat menciptakan kontrol yang
kuat dari rakyat terhadap wakilnya di lembaga legislatif maupun eksekutif,
sehingga nantinya wakil yang dipilih secara langsung oleh rakyat akan mampu
menjalankan fungsi kekuasaan pemerintahan negara
Pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden yang diatur
dalam Undang-Undang Dasar 1945 setelah perubahan maupun dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2003 merupakan masalah yang benar-benar baru bagi bangsa
Indonesia. Pemilu tahun 2004 telah membawa Indonesia memasuki babak baru dalam
perpolitikan nasional, bahwa pemilihan langsung pada pemilu kali ini merupakan
perkembangan politik yang sangat besar. Dengan adanya pemilihan langsung oleh
rakyat pasca pemilu tahun 2004, maka Presiden secara politik tidak akan
bertanggungjawab lagi kepada MPR melainkan akan bertanggungjawab langsung
kepada rakyat yang memilih Presiden.
Dengan suksesnya pelaksanaan pemilihan umum tahun 2004 dan
terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden yang merupakan hasil dari pemilu yang
dilaksanakan secara langsung oleh masyarakat, merupakan wujud dari berhasilnya
proses demokratisasi di Indonesia. Pelaksanaan pemilu tahun 2004 yang sangat
sulit dan rumit, yang bahkan mungkin saja tersulit yang pernah ada di dunia
dapat dilaksanakan di Indonesia dengan tanpa ada konflik serta perpecahan,
mengingat Indonesia pada saat itu masih berada dalam transisis demokrasi.
Pemilu 2004 lah menurut saya merupakan tonggak demokratisasi di Indonesia yang
kemudian tinggal diteruskan melalui pemilu-pemilu selanjutnya dengan
penyempurnaan disana-sini yang dianggap masih kurang. Aspek actor-aktor politik
yang ada pada saat itu serta aspek kelembagaan pada pemilu 2004 yang oleh
banyak pihak akan gagal menyelenggarakan pemilu pada saat itu terbantah dengan
suksesnya pemilu 2004 dilaksanakan. Maka dapat dikatakan bahwa bangsa ini dalam
konteks pemilu telah sukses berdemokrasi melalui pelaksanaan pemilu tahun 2004.
Pemilihan umum tahun 2009 merupakan pemilihan umum kedua
yang tetap menerapkan pemilihan langsung terhadap presiden dan wakil presiden.
Secara kualitatif pilpres 2009 memang masih banyak kelemahan, kekurangan, dan
ketidaksempurnaan yang disebabkan oleh berbagai faktor. Pertama, kelemahan
berada pada Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 yang mengatur Pilpres. UU itu
dinilai terlalu cepat mengakomodasi penggunaan Nomor Induk Kependudukan sebagai
salah satu persyaratan penyusunan daftar pemilih. Sementara administrasi
kependudukan masih belum tertib. UU Pilpres ini juga dinilai tidak memberikan
kekuatan kepada Badan Pengawas Pemilu beserta jajarannya, sehingga pengawasan
tidak berjalan efektif. Selain itu, UU Pilpres juga tidak mengakomodasi
kemungkinan penggunaan Kartu Tanda Penduduk dan paspor bagi warga negara yang
memenuhi persyaratan hak pilih, yang tujuannya menurut KPU adalah untuk
mengantisipasi kemungkinan terjadinya kekacauan dalam DPT, padahal sebenarnya
DPT yang dipakai masih merupakan lanjuta data dari Pemilu 2004. Kelemahan
kedua, KPU sebagai penyelenggara pemilu presiden terlalu mudah dipengaruhi oleh
tekanan publik, termasuk oleh peserta pemilu. Sehingga, terkesan kurang
kompatibel dan kurang professional serta kurang menjaga citra independensi dan
netralitasnya. Kelemahan ketiga, datang dari kesadaran hukum warga negara untuk
menggunakan hak pilihnya, termasuk mengurus terdaftar dan tidaknya dalam DPT
dan DPS, sehingga jumlah warga negara yang mempunyai hak pilih dan bahkan
terdaftar dalam DPT namun tidak menggunakan hak pilihnya masih cukup banyak.
Kemudian kelemahan terakhir, budaya ‘siap menang dan siap kalah’ dalam pemilu
secara elegan belum dihayati oleh peserta pemilu beserta para pendukungnya.
2.
Pengawasan
berjalannya demokrasi dalam pemilu
Penyelenggaraan pemilu yang demokratis seharusnya
dijalankan sesuai dengan asas pemilu yang dianut Indonesia yaitu
LUBER DAN JURDIL. Agar asas pemilu LUBER dan JURDIL dapat terlaksana dilakukan
pengawasan. Pengawasan tersebut bukan hanya dilakukan oleh Panwaslu saja, kita
juga harus berperan dalam pengawasan tersebut. Masyarakat dapat melakukan
pemantauan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses berjalannya
demokrasi/Pemilu. Pemantauan langsung bisa dilakukan pada saat proses demokrasi
berlangsung misalnya dalam proses pencoblosan, penghitungan, pendistribusian
suara. Serta pemantauan tidak langsung yang dilakukan dalam proses pra
demokrasi berlangsung misalnya, pemasangan media/atribut kampanye.[2]
KESIMPULAN
Pemilihan umum merupakan sarana /cara untuk memilih
wakil-wakil yang akan duduk dalam pemerintahan dan menjalankan roda
pemerintahan dalam kurun waktu tertntu.Pemilu yang demokratis dapat dilakukan
jika antara peserta pemilu dan pemilih melakukan sesuai dengan asas LUBER DAN
JURDIL.
Pemilu sebagai
sebuah lembaga dan praktik politik didalam Negara demokratis memang menjadi
sebuah keharusan. Indonesia sebagai sebuah bangsa yang telah melaksanakan
pemilu yang didorong demokratis sebanyak 3 kali setelah bergulirnya reformasi
ternyata dalam praktiknya mengalami kemunduran yang signifikan pada pemilu
ketiga yang dilaksanakan pada tahun 2009. Kemunduran ini dapat dilihat dari
pelembagaan, kebijakan, serta manajemen pemilu yang terlihat kirang
professional. Hal ini tentu sangat disayangkan mengingat keberhasilan pemilu
2004 seharusnya dapat menjadi modal awal bagi suksesnya pelakasanaan pemilu
2009. Peran elit politik bangsa ini tentu sangat dibutuhkan dalam konteks yang
positif untuk menjaga lancarnya proses demokratisasi di Indonesia melalui pemilu,
bukan malah kemudian menjadikan pemilu serta pelembagaan pemilu itu sendiri
tempat bertarung para elit politik yang dapat mengakibatkan kemunduran bagi
proses demokratisasi di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Budiarjo,
Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik.
Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Dahlan
Thaib, Ketatanegaraan Indonesia, Perspektif konstitusi, cetakan
pertama, Total Media, Yogyakarta, 2009.
Mashudi,
Pengertian-pengertian Mendasar Tentang Kedudukan Hukum Pemilihan Umum di
Indonesia Menurut UUD 1945, Bandung, Mandar Maju, 1993.
Syamsudin
Harris: “Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru”, Jakarta, yayasan obor
Indonesia, 1998.
[1]
Dahlan Thaib, Ketatanegaraan Indonesia, Perspektif konstitusi, cetakan
pertama, Total Media, Yogyakarta, 2009. hlm. 98.
[2]
Dahlan Thaib, Ketatanegaraan Indonesia, Perspektif konstitusi, cetakan
pertama, Total Media, Yogyakarta, 2009, hlm. 98.